Kang Nasrudin
Kang Nasrudin Alumni PP. Miftahul Falah, Sumber Sari. Lanjut ke PP Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pernah mengikuti program Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran, Tangerang, Pusat Studi Alquran, salah satu santri angkatan ke 8.

Maryam, Surat cintaku

2 komentar

“Tapi sebenarnya aku juga kurang mantep dengan gurumu itu, Nduk,” sahut ayah tiba-tiba. Ibu menoleh mengernyitkan dahi. “Lha jaman sekarang kok cuma bisa ngaji. Gak punya ijazah sarjana. Wah yo kurang sip to.”

Daftar Isi [Tampil]

nasrudin93.blogspot.com
Ustadz Umar keluar dari rumah Aisyah dengan wajah kusut. Salah satu santri di kelas diniyyah tempatnya mengajar.  Mulutnya berulang kali membaca istighfar. Ia tak menyangka akan begini menyakitkan akhirnya. Ihsan mengiringi mustahiqnya itu tanpa kata. Ia paham betapa sakitnya hati Ustadz favoritnya itu. Favorit karena ia bisa telaten dan perhatian kepada setiap anaknya di kelas. Sosok guru yang jadi bapak, pembimbing, sekaligus teman curhat, kadang juga teman cangkru’an bahkan musuh main PS.
“Kang, ayo ke Blimbing Sari,” kata Ustadz Umar memecahkan kesunyian dan kekusutan hatinya. Ihsan ndomblong. Kok??

“Ayo, malam ini sampean tak sewa jadi driver-ku,” ujarnya sambil tersenyum. Kekusutan hatinya seolah telah lenyap. “Mau main PS juga to?” Ihsan tertawa lebar mendengar kata-kata itu. PS. Ya, keduanya biasa berduel di game itu. Ihsan dengan Barca-nya, Ustadz Umar dengan Madrid-nya.
Monggo puun.. tanceep!!” seru Ihsan semangat. Sesaat kemudian keaduanya telah meluncur meninggalkan Srono menuju pantai Blimbing Sari.
***
Aisyah. Gadis ayu bermata bulat berkulit kuning itu masih terisak di hadapan orang tuanya. Ibunya terlihat sedih. Ayahnya duduk dengan gelisah sambil menikmati rokok linting kesukaannya. Bau khas menyebar ke seluruh ruangan.
“Kamu itu piye to nduk? Wong ditembung ustate kok gak mau...” kata ibunya memecah keheningan. Aisyah tertunduk semakin dalam.
“Tapi sebenarnya aku juga kurang mantep dengan gurumu itu, Nduk,” sahut ayah tiba-tiba. Ibu menoleh mengernyitkan dahi. “Lha jaman sekarang kok cuma bisa ngaji. Gak punya ijazah sarjana. Wah yo kurang sip to.”
“Bapak itu kok kedunyan to? Wong orangnya sholeh gitu. Bisa terasa nyaman kita di sampingnya. Kalau ibu ya cocok saja. Urusan ijazah, sarjana, wong nggak sarjana yo gak bakal kelaparan. Memangnya Gusti Allah paring rejeki ada syarat kudu sarjana?” tukasnya cemberut.
Ayah terdiam menghisap tokoknya dalam-dalam. “Iya.. tapi kan...”
“Halah, wong sampean gak punya ijazah saja juga bisa naik haji kok. Jangan kedunyan!” potong ibu. Ayah tertawa sambil geleng-geleng kepala.
“Ya namanya nggak suka lo Pak, Bu. Aisy gak mau terpaksa. Aisy hanya kagum pada Ustadz Umar. Itu tok...”
“Lha kalau cuma kagum kok kemarin liburan mau meladeni sms-an?” protes ayahnya. Aisy tertunduk malu. “Ngono iku gak apek nduk. Mainin hati orang. Aku ini juga wong lanang. Apalagi Ustadz itu sudah berumur dan gak punya pengalaman aneh-aneh sama perempuan. Jadi cepet... opo kui bahasane?
“PD, GR..” sahut ibu mencibir ke-ndesoan bapak. Bapak tertawa. Aisy tersenyum geli. Ia senang kedua orang tuanya tak terlalu memarahinya karena menolak “proposal cinta” Ustadz Umar.
“PHP....Pemberi Harapan Palsu...” sahut Anis, adik Aisyah yang dari tadi hanya diam sambil membaca buku pelajarannya, melihat dan mencibir kakaknya.
Memang benar adanya. Ia melayani saja PDKT Umar waktu liburan kemarin. Sebenarnya ia serba salah. Ia kenal Umar dari kebiasaannya datang ke kantor mencari guru badal ketika kelas kosong. Itu bagian dari tanggung jawabnya sebagai ketua kelas. Dan kebetulan Umar sering berada di kantor madrasah sekedar santai sambil baca kitab. Kadang juga nembel kitab. Dari situlah kedekatan mereka berlanjut hingga liburan maulid. Ia tak menyangka kalau Ustadz Umar akan serius dengannya. Padahal ia tak pernah memberikan bahasa penerimaan yang shorih.
Piye Nduk, kalau nanti aku sowan nggonmu?” tanya Ustadz Umar suatu ketika saat telponan.
Nggeh monggo nek kerso, Tadz..”
Seingatnya hanya itu bahasanya mempersilahkan sang ustadz datang. Dia tak pernah mengira kalau Ustadz Umar akan langsung main proposal ke orang tua tanpa tanya-tanya dulu apakah Aisy menerimanya sebagai calon suami atau tidak. Salah alamat! Batin Aisy. Yang lebih membuat Aisy kaget, kenapa Ustadz Umar datang bersama Ihsan? Padahal....
***
“Ayo San! Jangan mbulet tok!”
“Santai pak! Ki awas serangan balik!”
Wooo.. gruuk, wusss klotek klotek tok tok tok tek tek tek klutuk klutuk woooeee. Ooooo...
Begitu ribut suara Ihsan dan Ustadz Umar berduel PS. Malam itu setelah kelayaban dan menikmati ikan bakar di Blimbing Sari, Ustadz Umar mengajak Ihsan main PS di warnet. Ia sengaja menyewa untuk semalam. Tembus subuh. Ia luapkan kegelisahannya lewat teriakan-teriakan dan ejekan serta tendangan para pemain di layar monitor. Barca dan Madrid berduel tak kenal lelah.
“Jangkrik!! Kok malah mbok golne, San?!!” seru Ustadz Umar nampak geram. Ihsan terkejut. Tak biasanya Ustadznya itu marah kalau kalah. Aduh, efek patah hati nih..
Yo sepuntenen Pak! Piye lo...” serunya ketakutan. Setengah tak percaya kalau Ustadz Umar bisa marah.
“Push Up!! Jagone gurune kok dikalahke! Nyleding pisan! Phus up!!”
“Enggeh, enggeh!!” sahut Ihsan segera tengkurap dan phus up sepuluh kali.
“Huahahahaa... ora-ora San! Ngono ae tenanan lo!” kata Ustadz Umar tiba-tiba.
 “Nah, kan? Gak beneran!” batin Ihsan bersungut-sungut. Lebih kaget lagi ketika dia lihat ustadznya itu ambil posisi phus up juga. Dua puluh kali malahan. Ihsan ternganga.
“Iya San, aku salah nyuruh kamu. Jadi aku harus dihukum dua kali..” kata ustadz setelah usai. Ihsan kembali terkagum sosok gurunya itu.
“Ayo lanjuuut! Awas serangan balik!!!” teriak Ustadz Umar garang menyadarkan kekaguman Ihsan. Sigap ia mengambil stiknya. Kembali berduel dengan mustahiqnya tanpa kenal lelah.
Ihsan baru tahu kalau yang diincar Ustadznya itu adalah Aisyah ketika kemarin ia diajak oleh Ustadz Umar untuk menemani ke rumah Aisyah. Menurut Ustadz Umar, ia telah begitu dekat dengan seorang santri putri saat liburan kemarin. Bahkan dari bahasanya, gadis itu siap menerima bila sewaktu-waktu Ustadz Umar datang menemui orang tuanya dan meminta dirinya kepada mereka. Sebagai ustadz yang terbilang kupelwan alias kurang pengalaman wanita, Umar sering curhat dan meminta ilmu pengglenikan kepada Ihsan. Bagaimana ber-sms yang asyik. Bagaiman ber-jaim yang menarik. Melayani bahasa anak muda dengan kedewasaan. Pernah suatua ketika Ustadz Umar harus mengirim sms kepadanya karena tak bisa membaca tulisan itu. “ea tdz aisy mw nyci dl.... 5af ea...” begitu tertulis. “Maaf Tadz, aisy mau nyuci dulu. Maaf ya..” balas Ihsan kepada Ustadz Umar sambil tersenyum geli. Tapi sejauh itu ia belum paham kalau Aisy dalam sms Umar adalah Aisyah yang ini.
Ustadz Umar. Lelaki biasa dengan penampilan sedikit diatas garis minimal. Senior dengan umur di atas 32 tahun. Baru sekali ini mencoba ikhtiyarnya mencari belahan jiwa setelah berkesimpulan bahwa dirinya tak memiliki derajat mathlub, mertuo moro, bojo ayu tanpo rekoso, disuwun tanpo ngoyo, dijodokno kanti lilo. Tidak. Itu setelah melalui analisis yang tajam dengan catatan sejarah cintanya yang kosong dan gersang. Jom Ngen bahasa koreanya alias Jomblo Ngenes!
***
“San, jam 4. Udahan. Ayo ke masjid.” Ustadz Umar bangkit. Ihsan membuntutinya. Hebat, batin Ihsan, main game semalaman tak mengurangi shalat malamnya.
Ketika jam dinding masjid menunjukkan pukul 4.45 Wis, belum seorang pun petugas muadzin yang tampak seperti biasanya. Ustadz Umar mengangkat dagunya kearah Umar, adzano, begitu kira-kira. Ihsan bangkit tanpa kata mendekati pengeras suara yang dengan mudah disetel. Sejenak kemudian suara emasnya melengking membelah kesunyian fajar. Adzan yang berbeda dari biasanya. Suara pria setengah tua yang biasanya menyayat-nyayat pagi ini digantikan dengan suara emas Ihsan.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Jamaah mulai berdatangan namun sang imam tak juga hadir. Seorang takmir mendekati Ustadz Umar, “Monggo Mas...” semula ia menolak. Namun karena sang takmir itu terus meminta maka Ustadz Umar akhirnya beranjak juga.
Kali ini suara serak sang imam tergantikan suara indah dan merdu Ustadz Umar yang melantunkan Fatihah. Surat Maryam halaman pertama ia lantunkan menjadi dua rakaat Subuh.
Kaaf Ha Ya ‘Aiiin Shoood... Dzikru rahmati robbika ‘abdahu zakariyya.. Idz naadaa robbahu nidaa`an khofiyya...”
Mengalun mantap dan indah mengiringi hati Ustadz Umar yang mengadu pada Sang Penguasa Semesta. Di barisan shaf wanita, tampak seorang gadis tergesa-gesa menyusul shalat. Sejenak ia melongok ingin melihat siapa sang pemilik suara merdu itu.
“Indahnya jika shalatku diimami orang seperti dia Ya Allah,” gumamnya dalam hati meresapi bacaan Ustadz Umar.
***
Jam tujuh pagi. Ihsan dan Umar keluar masjid setelah membayar sedikit “zakat mata” setelah subuhan tadi. Tidur sejenak agar dapat konsentrasi menyetir motor untuk pulang.
“San, sandalku mana?”
“Lo itu Pak??”
“Bukan.. ini udah jelek banget. Sandalku gadis mosok ditukar rondo gini..” mereka tergelak.
Tiba-tiba Ihsan ingat bahwa tadi setelah jamaah mereka sempat ngobrol dengan takmir yang meminta Ustadz Umar menjadi imam. Pak Yazid. Orang paruh baya itu terkesan dengan mereka ketika subuh tadi mengisi kekosongan muadzin dan imam. Mereka berkenalan dan membicarakan banyak hal. Termasuk status Jom ngen-nya Ustadz Umar.
“Mungkin dia yang keliru Pak... Tapi mana rumahnya?”
“Oh ya.. ayo, tadi katanya rumahnya sebelah barat, lima rumah dari masjid.”
***
“Ya ini gubug kami,” kata Pak Yazid mempersilakan tamunya.
“Rumah megah begini kok dibilang gubug,” pikir Ihsan.
“Maaf Pak, apa sandal kita tertukar ya? Nuwun sewu...” kata Ustadz Umar setelah berbasa-basi.
“Ah, masa to?” Pak Yazid melihat sandalnya lalu tertawa malu. “Iya ya.. sandalku kan sudah jelek, mosok tak tukar dengan yang baru..”
Lantas dengan tergesa ia melepas dan menyodorkan sandal itu dengan hormat. Ustadz Umar jadi salah tingkah. Ia segera melepas dan menyodorkan sandal butut di kakinya. Kedua orang itu sama turun dari kursi.
Seorang gadis berjilbab ungu muncul membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat. Mata beningnya sempat terpaku melihat Ustadz Umar yang jadi tamu ayahnya. Bahkan keduanya sempat bertatapan. Deg! Hati Ustadz Umar. Astaghfirullah, bisiknya lantas memalingkan pandangan. Gadis itu menyuguhkan minuman dengan gemetar. Badannya terasa demam setelah bertatap mata dengan pria yang tadi ia lihat menjadi imam itu.
“Ehm... ini Zainab Kang, anak gadis saya satu-satunya...” kata Pak Yazid tiba-tiba. Gadis itu semakin salah tingkah. Apalagi ketika sang ayah menarik lengannya menyuruh duduk. Ustadz Umar panas dingin tiba-tiba. Ihsan menunduk menyembunyikan senyum geli sekaligus kagum. Geli dengan tingkah Ustadznya, kagum akan kecantikan Zainab. Aisyah tak ada seujung kukunya dibanding gadis itu.
“Baru selesai mondok dari Mbah Arwani, Kudus. Alhamdulillah sudah selesai tahfidznya. Ya apa isyarat apa gimana, saya kok punya pikiran, dengan tertukarnya sandal itu, menandakan sampean adalah jodoh untuk anak saya ini, itupun kalau sampean tidak keberatan. Keluarga kami.. bla bla bla blekutuk blekutuk tuk tek tok....” Penjelasan itu tak jelas di telinga Umar. Pikirannya terlintas dengan mata bening dan lesung di pipi Zainab. Ditambah keindahan anak rambut yang nakal melambai di sudut jilbabnya.
“Iiih..Ayah.....” rengek Zainab manja dan mencubit tangan ayahnya. Malu diobral seperti itu oleh ayahnya. Tapi sebenarnya sih...
Ustadz Umar menatap Ihsan yang tertunduk senyum-senyum. Ihsan tetap tersenyum membalas tatapan gurunya lantas mengangkat dua jempolnya, “Jos gandos!!” begitu biasanya dia bilang. Lantas ia mengayunkan lengan kanannya pelan seperti tinju, “Antem wees!!” Ustadz Umar mengangguk-angguk. Ia menarik napas panjang, menghembuskannya, mengangkat kepala menatap Pak Yazid yang diam menanti. Melirik Zainab yang merona dan tertunduk dalam-dalam memainkan ujung jilbabnya.
***
Dua minggu kemudian. Rumah Pak Yazid ramai. Tenda besar terpasang. Suara orang membaca al-Qur’an bil hifdzi terdengar lantang. Cepat berirama. Wes wes wes tapi jelas. Ihsan terkantuk-kantuk menyimak bacaan Ustadz Umar. Beberapa teman kelasnya juga ikut menyimak. Sejak tadi malam mereka memulai khataman itu. Menginap di masjid.
Waktu menunjukkan pukul 16.30 ketika dengan lantang Ustadz Umar mengucapkan qabul...
“Qobiltu nikahaha wa tazwijahaa, Zainab binti Yazid Mubarok bi mahri khatmil Qur’an tsalatsiina juz`an bilhifdzi haalan....!!
Ustadz Umar resmi menjadi menantu Pak Yazid sang takmir masjid. Lantunan doa para Kyai Blokagung menaungi bahtera rumah tangga Ustadz Umar dan Zainab. Ustadz Umar duduk di pelaminan dengan sisa keletihan. Entah nanti malam ia masih kuat “khataman” atau tidak.
***
Ihsan termenung. Galau. Ia bingung. Haruskah ia meneruskan hubungan ke tingkat serius dengan seorang yang ia tahu telah begitu tega mempermainkan hati lugu seorang Umar. Apakah dia mampu membimbing jiwa yang menurut penilaiannya adalah golongan jiwa-jiwa liar itu. Ia tak rela melihat betapa ustadz kesayangannya itu jatuh bangun. Sms di hp-nya masih terbuka. Ia baca berulang kali....
“Mz, ust umr dh nkh. Sgra lmr aisy k ortu aisy ea....”
Ihsan sadar cintanya begitu kuat. Namun ia juga sadar kalau Aisyah telah menyakiti gurunya, meskipun terlihat guru itu biasa saja. Tapi bukankah di balik kata Aku Ra Po Po tersimpan kata “Aku Porak Poranda?” Terlebih kenapa Aisy melayani dia dan ustadznya?
Dengan mata menajam, geraham mengeras, Ihsan membalas sms itu...
“Aisyah... Aku tak mau menjadi orang kesekian yang melukai perasaan orang yang paling kuhormati.... maaf... Lo, Gue....end....titik.  Wassalam.
Ihsan membaringkan tubuhnya di lantai musholla seraya memejamkan matanya yang tiba-tiba berair.....

@@@

Kang Nasrudin
Kang Nasrudin Alumni PP. Miftahul Falah, Sumber Sari. Lanjut ke PP Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pernah mengikuti program Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran, Tangerang, Pusat Studi Alquran, salah satu santri angkatan ke 8.

2 komentar