Kang Nasrudin
Kang Nasrudin Alumni PP. Miftahul Falah, Sumber Sari. Lanjut ke PP Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pernah mengikuti program Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran, Tangerang, Pusat Studi Alquran, salah satu santri angkatan ke 8.

Perayaan Maulid Nabi Memang Bid'ah...

Tidak ada komentar

Daftar Isi [Tampil]

Bismillah... Postingan edisi Maulid Nabi SAW.

 اللهم صل على سيدنا محمد

BAB I

PENDAHULUAN

  1. 1. Latar Belakang

Rasulullah SAW diutus kepada seluruh alam sebagai rahmat. Kelahirannya merupakan karunia terbesar dari Allah SWT, dinantikan oleh segenap kaum beriman, dan telah jauh hari dikabarkan dalam kitab Injil dan Taurat. Di sisi lain, sebagai umatnya yang telah menyambut da’wah tauhidnya, tentu pantaslah umat Islam merayakan kebahagian dengan kehadiran dan diutusnya rasulullah. Berbagai bentuk acara diadakan untuk menyambut dan memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Untuk mengesankan bahwa perayaan maulid adalah sesuatu yang baik, tak jarang di antara kaum muslimin yang pro maulid memunculkan dalil dan dasar untuk menguatkan argumen. Sebaliknya, kelompok anti maulid, yang baru muncul akhir-akhir ini, berusaha dengan segala upaya untuk mengenyahkan tradisi yang telah mengakar kuat ini.

Dalam kerangka inilah penulis mencoba mengetengahkan beberapa dalil perayaan maulid yang perlu ditinjau ulang apabila ingin dijadikan dalil. Tanpa bertujuan untuk menentang adanya peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, penulis mencoba menampilkan dan mengkritisi dalil tersebut dengan merujuk pada pendapat ahli.

Sebaliknya, perlu juga penulis kritisi dalil dan alasan kelompok anti maulid. Hal ini sangat penting karena dalam realitanya kelompok anti maulid lebih intens menyebarkan keyakinan dan pendapatnya. Hal ini mengundang konflik di masyarakat muslim dan memancing perpecahan.

I.2. Rumusan Masalah

Pembahasan dalam tulisan ini akan menyinggung beberapa hal:

Ø Hakikat dan sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ø Beberapa dalil bermasalah tentang peringatan maulid.

Ø Pengambilan dalil (istidlal) beberapa ulama.

Ø Beberapa alasan kelompok yang menolak peringatan maulid dan jawabannya.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Hakikat dan Sejarah Maulid

Dari segi bahasa kata maulûd adalah bentuk isim maf’ul dari madhi walada ,yalidu (melahirkan), sehingga artinya: anak /sesuatu yang dilahirkan. Sedangkan maulid adalah waktu/tempat kelahiran. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya istilah yang tepat untuk perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah Maulid atau maulidan.

Hakikat acara perayaan maulid sebenarnya adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur umat Islam atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mana beliau adalah rahmat bagi semesta alam.

Abu Bakar bin Muhammad Syaththa menceritakan bahwa Raja Irbil, Baghdad yang bernama al-Mudzaffar Abu Sa’id (549-630 H/1154-1233 M) adalah orang pertama yang mengadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Raja ini adalah adik ipar Panglima Besar Perang SalibShalahudin al-Ayyubi(532-589 H/1137-1233 M). acara yang selanjutnya lebih kita kenal dengan nama maulidan ini diadakan dengan bentuk perkumpulan kaum muslimin di berbagai tempat, baik rumah, mushalla maupun masjid, atau tempat lapang dengan satu tujuan mewujudkan dan memperlihatkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW. Mereka bersama melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an, pembacaan sejarah ringkas kelahiran dan perjuangan Rasulullah SAW, mendengar lantunan sholawat dan sya’ir pujian untuk beliau dan juga ceramah agama.[1]

Sedangkan adz-Dzahabi(748 H) dalam Siyar A’lam an-Nubâla mengatakan bahwa Raja Mudzaffar Abu Sa’id adalah orang yang dermawan, pemimpin besar, senang bersedekah, pandai, adil, cerdas dan pemberani. Dan dia pula yang pertama kali mengadakan peringatan maulid secara besar-besaran.[2]

Senada dengan hal itu, Ibnu Katsir (774 H) pun dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menceritakan tentang kebaikan Raja Mudzaffar Abu sa’id ini. Dia juga menyebutkan bahwa dalam masa itu pula kitab maulid pertama ditulis oleh Syaikh Abu al-Khaththab Ibnu Dahiyah. Kitab itu bernama at-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir. [3]

II.2. Beberapa Dalil Bermasalah Tentang Peringatan Maulid

Di sebagian kalangan muslimin yang mendukung tradisi maulidan, terdapat beberapa dalil yang dijadikan landasan perayaan maulid. Bahkan dalil itu diklaim sebagai hadits nabi dan perkataan sahabat. Namun menurut penelitian, dalil itu baik berupa hadits maupun pendapat sahabat sebenarnya bermasalah. Berikut penulis sajikan dalil tersebut.

Dalam kitabnya, Madarij as-Su’ud, Syaikh Nawawi al-Bantani meriwayatkan beberapa hadits sebagai berikut:

من عظم مولدي كنت شفيعا له يوم القيامة

Siapa yang mengagungkan hari kelahiranku maka aku menjadi penolongnya di hari kiamat.

من انفق درهما في مولدي فكانما انفق جبلا من الذهب في سبيل الله

“Siapa yang menginfaqkan satu dirham untuk mengagungkan hari kelahiranku, maka seakan ia telah meninfaqkan emas sebesar gunung di jalan Allah.”

Hadits di atas masih diperkuat dengan menukilkan beberapa ungkapan dari sahabat dan ulama salaf. Antara lain, Abu bakar ash-Shidiq RA. mengatakan:

من انفق درهما في مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي في الجنة

“Siapa yang menginfaqkan satu dirham dalam maulid Nabi SAW maka akan menjadi pendampingku di surga.”

Umar bin al-Khaththab RA. berkata:

من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد احيا الاسلام

“Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi SAW maka sungguh ia telah menghidupkan agama Islam.”

Utsman bin ‘Affan RA. mengatakan:

 من انفق درهما في قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكانما شهد وقعة بدر وحنين

“Siapa yang menginfaqkan satu dirham dalam pembacaan maulid Nabi SAW maka seakan ia telah ikut perang badar dan perang hunain.”

Ali bin Abi Thalib KW. berkata:

من عظم مولد النبي صلى الله عليه و سلم لا يخرج من الدنيا الا بالايمان

“Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi SAW, maka ia tidak akan mati kecuali dengan keimanan.”

Imam asy-Syafi’i RA. berkata:

من جمع لمولد النبي صلى الله عليه و سلم اخوانا وهيأ لهم طعاما وعمل احسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنة نعيم

“Siapa yang mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengadakan peringatan maulid Nabi SAW, lalu ia menyediakan makanan untuk mereka dan berbuat kebaikan, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama golongan shiddiqin, syuhada’ dan shalihin dan ia akan berada di Surga Naim.”

Imam Sirri as-Siqthi (253 H) juga mengatakan:

من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه و سلم فقد اعطي روضة في الجنة لانه ما قصد ذلك الموضع الا لمحبته صلى الله عليه و سلم وقد قال صلى الله عليه و سلم من احبني كان معي في الجنة

“Siapa yang menuju suatu tempat yang mana dibacakan maulid Nabi SAW, maka sungguh telah diberi satu taman di surga. Karena ia menuju tempat itu tidak lain karena kecintaannya kepada Nabi SAW sedangkan nabi telah bersabda, ‘siapa yang mencintai aku maka ia akan bersamaku di surga’.”[4]

Sebagaimana diketahui bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad SAW baru ada pada masa Raja Mudzaffar sekitar abad 6 hijriyyah. Karena itu sangatlah janggal bila nabi dan sahabat serta ulama abad 3 hijriyyah telah mengatakan keutamaan/fadhilah dari merayakan maulid apalagi bacaan kitab maulid. Terlebih hadits serta perkataan sahabat dan ulama di atas tidak disebutkan rujukannya oleh penulis kitab itu. Dalam kitab-kitab hadits mu’tabar, ternyata hadits yang jelas matan-nya itu tidaklah dapat ditemukan. Karena alasan inilah maka Musthafa Ali Ya’qub menyimpulkan bahwa hadits-hadits di atas adalah palsu. [5]

II.3. Pengambilan Dalil (istidlal) Beberapa Ulama

Lalu bagaimana pengambilan dasar yang tepat untuk mengadakan peringatan kelahiran Nabi SAW? Apakah kemudian peringatan maulid nabi benar-benar haram dan bid’ah yang munkar dan harus dihentikan? Jawabnya tentu tidak. Perayaan maulid sebagai hal bid’ah (hal baru yang belum dicontohkan oleh rasulullah dan sahabat) merupakan kategori bid’ah hasanah. Dan perlu digaris bawahi bahwa merayakan maulid bukanlah suatu kewajiban agama apalagi bentuk peribadatan.

Mayoritas ulama sejak dahulu telah mengakui adanya bid’ah hasanah. Misalnya pendapat Imam asy-Syafi’I yang mengatakan bahwa ada dua macam bid’ah: bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah (tersesat), dan bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalahi hal tersebut, maka disebut bid’ah hasanah.[6]

Penulis merasa tidak perlu mengetengahkan pembahasan tentang macam-macam bid’ah karena sebenarnya hal itu sudah selesai sejak dahulu kala. Hanya akhir-akhir ini saja ada sebagian orang maupun kelompok yang tidak menerima pembagian bid’ah namun pada akhirnya mereka sendiri pun akhirnya kebingungan membagi bid’ah.

Selanjutnya, dalam menjawab tuntutan dalil kebolehan merayakan maulid, maka cukup kiranya dengan merujuk kepada pendapat para ulama berikut ini.

  1. As-Suyuthi mengatakan :

“Menurut saya, bahwa pada dasarnya peringatan maulid- yang terdiri dari berkumpulnya orang-orang, lalu membaca beberapa ayat al-Qur’an, kemudian membacakan tentang permulaan kisah hidup Nabi Muhammad SAW, kejadian-kejadian seputar kelahiran beliau, lalu dihidangkan makanan kepada mereka, lalu setelah itu mereka membubarkan diri, tidak lebih dari itu- hal itu adalah bid’ah hasanah yang diberi pahala atas orang yang melakukannya. Hal itu karena di dalamnya terkandung penghormatan kepada Nabi SAW dan usaha menampakkan kegembiraan dengan kelahiran beliau yang mulia.”[7]

  1. Ibnu Hajar al-‘Asqalani

Masih Dalam kitab al-Hawi lil fatawi, as-Suyuthi mengatakan bahwa Ibnu Hajar al-‘Asqalani mempunyai dalil yag kuat terkait maulid. Ibnu hajar mendasarkan perayaan maulid kepada hadits Bukhari dan Muslim yang menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, ia dapati orang yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Maka nabi bertanya kepada mereka tentang hal itu. Mereka menjawab: “ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa AS. Maka kami berpuasa untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.” Lalu Nabi SAW bersabda: “kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”

Dari hadits tersebut Ibnu Hajar menyimpulkan kebolehan melakukan suatu kebaikan sebagai wujud rasa syukur atas karunia Allah pada hari tertentu baik karena menerima suatu pemberian atau terhindar dari bahaya. Hingga Ibnu Hajar berkata: “dan nikmat manakah yang lebih agung daripada kelahiran Sang Nabi pembawa rahmat pada hari itu?”[8]

  1. Abu Syamah, guru dari Imam an-Nawawi mengatakan:

“Bid’ah terbaik zaman ini adalah apa yang terjadi ketika peringatan hari kelahiran Nabi SAW, berupa sedekah, kebaikan, berhias, dan menampakkan kebahagiaan. Hal tersebut, dengan segala kebaikan yang dilakukan di dalamnya semisal berbuat baik kepada para fakir, adalah sesuatu yang menunjukkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, dan bersyukur atas anugrah berupa kelahiran Sang Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi semesta.”[9]

  1. Muhammad bin Alawi al-Maliki, ulama sunni kontemporer dari Arab Saudi berpendapat bahwa memperingati maulid nabi tidak mempunyai bentuk-bentuk khusus yang mana semua orang harus dan diharuskan untuk melaksanakannya. Akan tetapi segala sesuatu yang dilakukan, yang dapat atau mengajak manusia kepada kebaikan dan mengumpulkan mereka kepada hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka, maka hal itu dapat digunakan untuk memperingati maulid nabi. Bahkan meskipun hanya mengadakan majlis yang di dalamnya dibacakan pujian untuk nabi, mengisahkan perjuangannya, keistimewaannya tanpa membaca semisal kitab-kitab maulid, maka hal itu sudah cukup untuk merayakan maulid nabi.[10] 

Selain itu, Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya, Haul al-Ihtifal bi Dzikri al-Maulid an-Nabi asy-Syarif, mengungkapkan alasan dibolehkannya mengadakan pringatan maulid nabi, yaitu,

  1. Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu. Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Muhammad, Abu Lahab pun memerdekakannya sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran Sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya yang mana iman selalu ada di hatinya?
  2. Nabi Muhammad SAW sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmat-Nya yang terbesar kepadanya.
  3. Gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah al-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus[10]: 58).

Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’[21]: 107).

  1. Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar dan telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingat dan mengagungkan harinya.
  2. Peringatan maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab[33]: 56).

Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Sangat banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

  1. Dalam peringatan maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizat, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadinya. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
  2. Peringatan maulid merupakan ungkapan jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.

Dulu, di masa nabi, para penyair datang kepadanya melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

  1. Mengenal perangai nabi, mukjizat-mukjizat, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.

Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik fisik maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama..

  1. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
  2. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan,” Hal itu menunjukkan dimuliakan-nya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?
  3. Peringatan maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, ia pun baik di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.
  4. Dalam peringatan maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
  5. Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Hud[11]: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
  6. Tidak semua hal yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil syara’.
  7. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid. Juga penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
  8. Peringatan maulid nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).

Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika hanya dipandang bentuknya, bukan perincian-perincian amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

  1. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincinan amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’ pun dituntut oleh syara’.
  2. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji.”
  3. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemungkaran, itu termasuk ajaran agama.
  4. Memperingati maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang terlihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
  5. Semua yang disebutkan tentang dibolehkannya peringatan maulid Nabi SAW secara syariat, hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang tercela yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.[11]

II.4. Alasan Kelompok yang Menolak Peringatan Maulid dan Jawabannya

Beberapa pernyataan dan tuduhan yang dijadikan alasan menolak perayaan maulid nabi antara lain:

Ø Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW belum dapat dipastikan pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal karena adanya perbedaan pendapat. Sehingga menentukan acara pada 12 Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari segi historis.

Hal ini dijawab oleh Muhammad bin Alawi dengan perkataannya:

“Kami merayakan maulid Nabi Muhammad SAW selalu dan selamanya di setiap waktu dan disetiap kesempatan yang mana ada kegembiraan, kebahagiaan dan semangat. Lebih-lebih pada bulan kelahirannya.”[12]

Dalam buku yang sama, ia juga mengatakan bahwa memang sebaiknya berbuat kebaikan seperti sedekah dan lainnya itu tidak khusus pada hari kelahiran nabi saja, tetapi di segala waktu dan kesempatan.

As-Sakhawi menyatakan dalam al-Ajwibah al-Mardhiyyah, bahwa memang tanggal kelahiran Nabi Muhamad SAW masih diperselisihkan antara tanggal 2, 8, 12 rabi’ul awwal dan masih ada beberapa pendapat lain. Oleh karena itu tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai kesiapan yang ada. Bahkan jika dilakukan pada seluruh hari dan malam bula rabi’ul awwal sekalipun.[13]

Ø Merayakan maulid sama dengan mengadakan ‘Id/ hari raya baru selain hari raya, Fithri dan adhha.

Secara bahasa ‘Id artinya hari raya. Sudah diketahui bahwa hari raya dalam syari’at Islam hanya ada dua yaitu Idul fithri dan adhha. Kalaupun ada selain dua hari itu diistilahkan sebagai “Id” maka hal itu adalah id dalam arti bahasa. Dan bukan berarti menambahkan hari raya dalam syari’at Islam. Dalam hadits riwayat ath-Thabarani Ibnu Abbas mengatakan bahwa QS. Al-Maidah[5]: 114, itu turun pada dua hari ‘Id yaitu hari Jumat dan hari arafah. Tentu di sini kata id adalah dalam arti bahasanya dan bukan hari raya seperti Idul Fithri dan Idul Adhha.

Ø Merayakan maulid sama halnya dengan menambah-nambahi syari’at yang sudah sempurna, sehingga bertentangan dengan firman Allah surat al-Ma`idah [5]:6. Seandainya perayaan maulid itu adalah suatu kebaikan, niscaya telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Alasan ini cacat sebab tidak seorangpun dari kalangan awam maupun ulama yang berkeyakinan seperti itu. Kemudian tidak setiap hal yang tidak dilakukan oleh Nabi dan salaf, lalu dilaksanakan oleh generasi setelahnya merupakan penyempurnaan terhadap agama dan penambahan syari’at. Jika memang demikian maka apa gunanya bab ijtihad?

Ø Perayaan maulid adalah bid’ah sesat yang diadakan oleh kaum rofidhah/syi’ah, sebab yang pertama kali merayakan maulid adalah orang-orang Daulah Fathimiyyah dan mereka ini dari golongan orang zindiq (atheis), merupakan anak cucu abdullah bin saba’.

Alasan ini merupakan pengaburan sejarah. Sebagaimana penjelasan yang lewat, bahwa yang mengadakan maulid pertama kali menurut as-Suyuthi dan beberapa ulama adalah Raja Mudzaffar, dan dia adalah orang yang dipuji oleh para ulama tarikh. Bahkan Muhammad bin Alawi berpendapat bahwa yang pertama kali merayakan hari kelahiran adalah justru Nabi Muhammad SAW sendiri. Ini berdasarkaan hadits yang menyatakan bahwa nabi berpuasa pada hari senin karena hari itu adalah hari kelahirannya.

Sebenarnya banyak lagi berbagai alasan dan argumen yang digunakan untuk menghapus tradisi yang telah berlangsung berabad-abad ini. Hanya saja sebagian besar diantaranya lebih berdasar atas buruk sangka dan ketidaktahuan akan hakikat perayaan maulid. Sebagian diantaranya malah merupakan tuduhan tanpa fakta. Meskipun tidak dapat dipungkiri kemungkinan adanya sebagian umat islam yang merayakan maulid dengan cara tidak benar. Maka yang perlu diluruskan adalah perbuatan itu dan bukan dengan cara pukul rata masalah.

III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

  1. Hakikat acara perayaan maulid sebenarnya adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur umat Islam atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mana beliau adalah rahmat bagi semesta alam. 
  2. Perayaan maulid Nabi Muhammad SAW termasuk bid’ah hasanah yang boleh saja dilaksanakan dan segala kebaikan yang dilakukan didalamnya tentu beroleh pahala.
  3. Pengambilan dalil maulid melalui beberapa hadits dan ucapan sahabat adalah kurang tepat karena riwayatnya sangat diragukan bahkan palsu.
  4. Beberapa fatwa dari ulama seperti as-Suyuthi, Ibnu Hajar, Muhammad bin Alawi, dan tradisi yang telah berlangsung berabad-abad sebenarnya sudah cukup menjadi dalil tentang kebolehan perayaan maulid nabi.
  5. Penolakan adanya perayaan maulid nabi dari segolongan orang sebenarnya didasarkan atas ketidakpahamana mereka kepada hakikat maulid yang dilakukan oleh kaum muslimin. Bahkan didasari tuduhan dan buruk sangka.

III.2.Saran

Ulama sebenarnya sudah menyelesaikan perbedaan pendapat tentang perayaan maulid ini sejak dahulu. Sehingga tidak selayaknya hal itu kini diungkit kembali dengan kemasan berbeda. Umat Islam hanya akan berjalan di tempat jika tetap berselisih. Maka sebaiknya kelompok anti maulid sedikit menahan diri untuk tidak memecah persatuan umat. Kelompok pro maulid tidak pernah memvonis orang yang tidak merayakan maulid sebagai penentang Islam karena tidak menghormati sang nabi. Begitu pula sebaiknya, kelompok anti maulid jangan menyakiti para pecinta maulid nabi dengan menebar vonis bid’ah apalagi syirik. Karena memvonis syirik secara tidak langsung berarti juga memvonis para ulama sekaliber Ibnu Hajar sebagai orang yang mengajarkan syirik.

III.3.Penutup

Demikian makalah ini ditulis dengan segala kekurangannya. Semoga bisa memberi wawasan bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

- Buku

Al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fâth al-Bâri, Beirut: Dar al-Marifat, 1379 H.

Al-Bantani Nawawi, Madârij as-Su’ûd, Semarang: Toha Putra, tt.

Ad-Dimasyqi, Isma’il bin Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Ttp: Ihya’ at-Turats, 1408 H

Ad-Dimyathi, Abu Bakar bin Muhammad Syaththa, I’ânah Ath-Thâlibin, Beirut: Dar al-Fikr,2009

Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad, Siyaru A’lam an-Nubâla, Ttp: Muassasah ar-Risalah,1985

Al-Maliki, Muhammad bin Alawi, Haul al-Ihtifal bi Dzikri al-Maulid an-Nabi asy-Syarif, diterjemahkan oleh Muhammad Taufik Barakbah dengan judul Wajibkah Memperingatai Maulid Nabi SAW?, Surabaya: Cahaya Ilmu, 2007.

As-Suyuthi, Jalaluddin, al-Hâwi li al-Fatâwi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘alamiyyah, 2000.

Ya’qub, Musthafa Ali, Prof MA KH, Hadits-Hadits Bermasalah,Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

- Website

Https://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-adatanpa-tempat/mereka-mengatakan-maulid-nabi-bidah-sesat-anda-jangan-diam-saja-sebarkan-tulisan/153892607960990.

[1] Abu Bakar bin Muhammad Syaththa ad-Dimyathi,  I’ânah ath-Thâlibin, (Beirut: Dar al-Fikr,2009), juz: 3, hal:364

[2] Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala, (Ttp: Muassasah ar-Risalah,1985) juz: 22, hal: 336

[3] Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Ttp, Ihya’ at-Turats, 1408 H), juz:13, hal: 160

[4] Nawawi al-Bantani, Madarij as-Su’ud, (Semarang: Toha Putra, tt) hal: 15

[5] Musthafa Ali Ya’qub, Hadits-Hadits Bermasalah, (Jakarta: Pustaka firdaus, 2003) hal: 105

[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Marifat, 1379 H) juz: 13, hal:253, lihat juga al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i II/469, adz-Dzahabi, Syaru A’lam an-Nubala’ X/70, Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, IX/113, an-Nawawi, Shahih Muslim bi asy-Syarh an-Nawawi, VI/154.

[7] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘alamiyyah, 2000), Juz:1, hal:181

[8] Jalaluddin as-Suyuthi, juz:1, hal:188

[9] Abu Bakar bin Muhammad Syaththa ad-Dimyathi, juz:1 hal:271

[10] Muhammad bin Alawi al-Maliki, Haul al-Ihtifal bi Dzikri al-Maulid an-Nabi asy-Syarif, diterjemahkan oleh Muhammad Taufik Barakbah dengan judul Wajibkah Memperingati Maulid Nabi SAW?, (Surabaya: Cahaya Ilmu, 2007) hal:71

[11] Muhammad bin Alawi al-Maliki, hal:43-65

[12] Muhammad bin Alawi al-Maliki, hal:27

[13] Https://id-id.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-adatanpa-tempat/mereka-mengatakan-maulid-nabi-bidah-sesat-anda-jangan-diam-saja-sebarkan-tulisan/153892607960990

Sumber Foto: alwashiyyah.or.id

Kang Nasrudin
Kang Nasrudin Alumni PP. Miftahul Falah, Sumber Sari. Lanjut ke PP Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pernah mengikuti program Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran, Tangerang, Pusat Studi Alquran, salah satu santri angkatan ke 8.

Komentar