Kang Nasrudin
Kang Nasrudin Alumni PP. Miftahul Falah, Sumber Sari. Lanjut ke PP Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pernah mengikuti program Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran, Tangerang, Pusat Studi Alquran, salah satu santri angkatan ke 8.

Senja di Rumah Tua

Tidak ada komentar

Daftar Isi [Tampil]
Setiap sore, wanita itu duduk di teras rumah besarnya yang telah dimakan usia. Serasi benar dengan sang pemilik yang hanya seorang wanita tua. Selalu dengan kegiatan yang sama. Akan ditatapnya lalu lalang orang melintas di jalan beraspal. Sesekali tatap matanya kosong, Menerawang, mengingat jauh kemasa lalu. Atau dia perhatikan burung-burung yang terbang beriringan kembali ke sarang setelah seharian mencari makan. Kadang ia menarik nafas panjang terasa berat sembari kembali memutar biji-biji tasbih di tangan kirinya. Mukena kusam yang disingkapkan menggantung di lehernya menunjukkan pakaian khas orang tua pedesaan. Kain batik yang dipakainya tak kalah kusam. Sesekali mulutnya komat kamit dalam doa yang hanya ia dengar sendiri.
Kursi tuanya berderit ngilu setiap ia mendesah gelisah dengan napas tuanya. Sesekali ia menggeliat malas, memindahkan tumpuan kakinya yang keriput, bergantian menindih kaki kiri dan kanan saat telah terasa kesemutan. Teras rumah besar itu turut menemaninya dalam bisu. Ikut memutar rekaman kenangan dalam bisikan angin senja dan temaram lampu yang turut meredup. Selaras dengan sinar sendu di balik keriput kelopak mata tuanya.
Rumput-rumput di halaman rumah ikut membisu dalam dunia mereka. Tangan tua perempuan itu sudah terlalu lemah untuk mengusir kehadiran mereka. Apalagi punggungnya juga terlalu payah untuk membungkuk mencabut dan mengenyahkan mereka dari halaman. Temaram mega di ufuk barat turut menambah suasana sendu waktu senja di rumah tua. Bila adzan telah berkumandang dari surau [1] desa, ia akan beranjak kedalam, kadang ia berangkat tertatih memenuhi panggilan itu, tetapi bila meriang, ia shalat sendiri di rumahnya.
***
Aku masih duduk di sini, di depan rumah tuaku ini. Selalu begini setiap hari. Di kursi reyot, sereyot tubuhku, kutatap lalu lalang manusia di jalan beraspal di depan rumah. Menerawang masa lalu, merenungkan masa tua yang sunyi sendiri. Berteman hembusan sejuk angin senja dan temaram mega, mendengarkan bunyi derit kursi, menyimak ocehan cicak di tembok rumah yang telah rapuh. Selalu begini setiap hari, sepanjang mingu sepanjang bulan dan mungkin di sepanjang sisa umurku.
Dulu, rumahku ini ramai dengan canda tawa, tangis, dan riuh rendah anak dan cucu, diselingi omelan dari mulut cerewetku atau ibuku, dan sesekali ada pertengkaran kecil yang menghiasi. Gagahnya bangunan masih menyisakan kekokohannya di masa lalu meskipun tembok putihnya kini telah pudar. Berganti warna kusam dan hitam ceceran kotoran tokek di pojok atap.
Sembilan kamarnya menceritakan bagaimana kami hidup sebagai keluarga besar. Dua orang tuaku, aku beserta suamiku dan tiga anak kami. Masih ditambah dua anak adikku yang dititipkan agar menempuh sekolah, sebab orang tua mereka menempat di pegunungan. Masing-masing mendapat kamar sendiri. Hanya si bungsu yang terpaksa sekamar dengan kakak keduanya. Begitu ramai. Tetapi bagi orang tua, kebahagianan apakah yang lebih besar selain menjalani hari tuanya bersama anak dan cucu?
Setiap pagi, mereka berebut kamar mandi di belakang rumah, kamar mandi pedesaan tentunya, yang tak lebih dari sumur dengan pagar gedek seadanya. Atau berebut untuk “bongkar muatan” di kakus jumbleng [2]. Riuh rendah setiap pagi mengiringi anak-anak akan berangkat sekolah, dan orang tua yang bersiap keladang dan sawah, kesibukan di dapur, mengiringi kegiatan kami setiap pagi.
Menjelang siang mulai sepi dan tinggal aku dan ibuku yang memberesakan pekarjaan rumah dan membersihkan sekitar rumah yang besar ini. Mungkin agak menjelang dzuhur baru mereka kembali berkumpul melepas lelah.
Sore hari mulai ramai lagi. Anak-anak yang berebut kamar mandi, gelak tawa mereka saat berangkat ke surau untuk mengaji pada Pak Modin [3], para orang tua yang berangkat shalat jama’ah di surau berduyun-duyun dengan tetangga dalam susana keakraban pedesaan.
Bertahun tahun setelah itu...
Kedua orang tuaku telah tiada, mereka meninggal tak terpaut lama. Anak-anak semakin dewasa, mereka begitu berambisi untuk mencapai pendidikan dan cita-cita tinggi mereka walaupun tanpa bantuan berarti dari kami sebagai ibu dan ayahnya. Aku pernah bangga dengan mereka. Mereka gigih menempuh pendidikan di kota kabupaten dengan berbekal kemauan keras. Para anak asuhku – anak-anak adikku yang dua orang itu – mereka telah juga meninggalkan rumah ini. Sekolah tinggi, katanya.
Tinggallah kami berdua menjalani hari-hari yang mulai terasa sepi. Beginilah kenyataanya sebagai orang tua yang membesarkan anaknya. Kita lahirkan mereka, kita besarkan , untuk akhirnya mereka harus kita relakan pergi menjauh, entah berapa lama dan entah apakah mereka akan kembali ke pelukan kita. Seperti itu pulalah lakunya para hewan. Mereka bertelur atau beranak, dirawatnya anaknya, untuk setelah bisa mencari makan maka disapih [4] -nya anak itu. Tetapi kita manusia yang berperasaan, kita ingin di hari tua anak-anak itu tetap memperhatikan kita bukan?
Entah berapa tahun kemudian...
Saat tubuh tua kami semakin renta dan rapuh, saat senja kehidupan semakin membayang, tak kunjung kembali para pengelana itu. Kemanakah kiranya mereka menjelajah dunia ini? Hingga tak terbetik di hatinya untuk kembali merasakan pelukan rindu bapak dan emaknya?
Si sulung, semenjak lulus SMA di kota ia meneruskan tuntutan hatinya untuk mencari kerja. Tradisi wajib anak muda kampung yang mencicipi pendidikan di kota. Tak pantaslah kiranya jauh jauh sekolah, pulang hanya untuk masuk lumpur sawah, kata mereka. Tapi... merantau macam apa pula kalau tiada pernah ada kabar rimbanya? Merantau macam apa yang hingga kini tiada tergambar hasil jerih payahnya? Sesenkah uang, sepucukkah surat tak ada ia kirimkan kepada kami, orang tuanya. Hidupkah ia? Matikah ia? Kayakah, melaratkah? Berhasil atau bangkrutkah?
Anak tengah, kemana pulakah ia? Sekolah menurutkan langkah kakaknya, lalu merantau menurutkan langkah kaki mudanya, selanjutnya hilang pula seakan diterbangkan angin jalanan.
Si bungsu, ah... seakan akan anak kami hanya dia semata wayang. Tak diturutnya langkah kakak-kakaknya. Lebih ia pilih pulang ke desa ini setelah ikut mereasakan sekolah di kota. Ia relakan kakinya menyusuri lumpur sawah kami yang tak seberapa luas. Di lain waktu ia berusaha mencari penghasilan dengan berdagang hasil kebun di pasar. Tetapi, kecelakaan telah pula merenggutnya dari kehidupan kami. Entah bagaimana, sebuah Gerandong[5] pengangkut pasir terguling di sisi jalan yang agak miring, menimpa si bungsu yang sedang menuntun sepeda bermuatan bertandan-tandan pisang yang dibelinya dari para tetangga dan orang kampung.
Usia terus menggerus kehidupan kami yang tinggal berdua dalam rumah besar ini. Seperti pengantin baru lagi, kata orang-orang. Tidak, tentu tidak seperti itu, jauh sekali... Di kala usia kami makin senja, tenaga kami makin lemah, dan tubuh semakin renta, ditambah kesepian jauh anak dan famili, membuat kehidupan ini makin sunyi saja. Aku mereasa menjadi beban saja bagi para tetangga. Ketika aku sakit maka Rano, anak tetanga depan yang mengantar ke puskesmas. begitu juga bila suamiku kambuh rematik atau batuknya, ia pula yang sukarela mengantar ke puskesmas. Ketika kami berdua sakit bersamaan, maka Painah, tetangga sebelah yang rumahnya terpisah oleh kebun, dengan telaten memasak dan merwat kami. Beruntung kami hidup di desa dan memiliki tetangga yang tulus menemani hari tua kami.
Beberapa tahun kemudian...
Jalan di depan rumah kami semakin hancur aspalnya. Berlobang lobang di sana sini, memperlihatkan batu-batu di bawahnya. Semakin renta pula kami, tapi kenapa harus suamiku dulu yang pergi menghadap Sang Pencipta? Didahului batuk berdarah ia menutup perjalanan hidupnya di dunia ini, meninggalkan aku dalam kesunyian di usia senja. Andai boleh diminta, maka aku ingin Dia ambil kami bersama, agar aku tidak kesepian di dunia ini.
***
Aku selalu di sini... Di kursi reyot depan rumah. Setiap sore menjelang maghrib. Memandangi lalu lalang kehidupan di jalan beraspal yang penuh lubang, di depan rumahku. Merenungi sunyinya hari tua dan kelamnya senja yang membayang. Masih kuharap mereka yang menjelajah sudut dunia untuk kembali dalam pelukan hangat emaknya ini. Selalu kutunggu kalau-kalau si sulung atau si tengah datang dengan didampingi istri dan cucuku, bersimpuh menumpahkan kerinduan akan emak dan rumah tuanya. Bukan harta hasil perantauan yang kuharap. Tak sepeser pun aku inginkan itu. Tapi kehadiran orang-orang terkasih di akhir kehidupan yang semakin dekat ini. Ah... Tuhan, berat nian ujian yang hamba sandang.
Sering aku berbisik sendiri pada angin seakan mereka akan menyampaikan pesan rinduku pada anak-anak itu. Tak rindukah kalian pada emak? Sehatkah kalian? Sakitkah kalian? Senang atau susahkah kalian? Tak emak harap uang dan harta hasil kalian merantau... Andaikan kalian gagal tak benci emak menerima kehadiran kalian. Atau kalian sangat takut pulang dalam kegagalan? Sesungguhnya rumah kalian ini masih selalu merindukan para penghuninya entah mereka pulang dengan keberuntungan ataupun kegagalan.
Aku selalu di sini, di teras rumah tua, dengan kursi tua, bercengkrama dengan angin dan temaram senja dan sinar lampu redup. Menanti kehadiran anak yang kulahirkan, kubesarkan, untuk akhirnya pergi dalam dunia mereka. Sambil menanti suara panggilan untuk menghadap-Nya, sebagaimana aku selalu menunggu Dia panggil aku pulang dalam rahmat-Nya. Ketika suara adzan terdengar aku akan segera masuk ke rumah dan mengharap bahwa itu adalah panggilan terkhir yang kudengar. Seperti sore ini, aku tunggu suara itu. Aku berharap ia menjadi panggilan terakhir meskipun aku harus pulang tanpa disaksikan anak-anakku.
Biarlah... Kalau kalian tak pulang kepada emak, itu urusan kalian. Yang penting emak sudah menunggu kalian di teras rumah ini bersama kursi reyot ini dan temaram lampu. Karena emak pun harus pulang...
***
Sore ini, wanita tua itu tetap di sana. Di teras rumah tua, duduk di kursi reyot, seperti kebiasaannya setiap senja hari. Memandang lalu lalang kehidupan di jalan beraspal penuh lubang di depan rumah. Berbisik sendiri pada angin semilir di senja hari. Sesekali matanya menerawang jauh seakan menanti seseorang. Disaksikan kebisuan tembok yang kusam, rumput di halaman rumah yang bebas menari. Masih sama seperti hari-hari kemarin.
Tetapi kali ini, dengan mengusap air mata di kelopak keriputnya, ia tiba-tiba tersenyum. Bersama kumandang suara adzan sang muadzin tua dari surau, ia beranjak masuk kerumahnya, dan tidak seperti biasanya, kali ini ia mematikan lampu listrik yang redup itu.
***
“No... Rano!! Ayo ngendangi [6] Mak Ijah, kok dua hari ini dia gak kelihatan, jangan-jangan sakit...?” Painah meneriaki Rano yang asyik dengan radionya.
“Nggeh bude...[7]
Mereka memasuki halaman rumah Mak Ijah dengan penasaran. Pintu rumah yang agak terbuka membuat semakin penasaran. Dengan seribu praduga mereka masuk saja. Tanpa kulonuwon[8]. Kedekatan mereka dengan pemilik rumah menjadikan rumah selayak rumah sendiri. Dan...
“Innaa lillahi wa Inna ilaihi roji’uun..., Maaaaak!!!!!”
Sudut Blokagung Desember 2012.
Untuk para pengembara yang lupa induknya...
[1] Mushala
[2] Tempat buang hajat, yang hanya berupa lubang dalam dan ditutup kayu serta papan, dan pada tengahnya diberi lobang.
[3] Pemuka agama Islam, biasanya di desa merangkap sebagai guru mengaji, kadang juga sebagai penghulu pernikahan
[4] Dipisah
[5] Mobil rakitan biasanya bermesin diesel
[6] Menjenguk
[7] “Iya ,Bude”.
Bude panggilan kepada saudari tua dari ayah atau Ibu, terkadang kepada orang yang dianggap lebih tua dari mereka.
[8] Permisi
Sumber gambar: orestillakoto.blogspot.com

Kang Nasrudin
Kang Nasrudin Alumni PP. Miftahul Falah, Sumber Sari. Lanjut ke PP Darussalam Blokagung, Banyuwangi. Pernah mengikuti program Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Alquran, Tangerang, Pusat Studi Alquran, salah satu santri angkatan ke 8.

Komentar